1. Ini sebenarnya bukan karya gue, tapi karya Hergi, temen gue.  Resensi ini buat tugas B.Indonesia, tapi karena kita sekelompok, jadi dia deh, yang ngerjain semua. Haha :D :D
    piss om...... :p






    Judul Buku       :           Rumah Bambu
    Penulis             :           Y.B. Mangunwijaya
    Penerbit           :           Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
    Tahun Terbit    :           2012
    Ukuran            :           13,5 x 20 cm; xii + 200 hlm.
    Harga              :           Rp45.000,00





    Setelah Membaca Kumpulan Cerpen Thithut
                Membaca kumpulan cerpen Thithut karya dari Y.B. Mangunwijawa begitu sulit dipahami. Perlu pemahaman yang kuat dan konsentrasi penuh dalam membaca cerpen ini. Bahasa yang digunakan begitu alami dengan tata bahasa yang bercampur dengan bahasa asing namun tetap baik. Terdapat beberapa kata yang membuat saya harus membacanya berulang kali. Mangunwijaya menggunakan istilah “bocah” pada cerpen ini untuk menggambarkan seekor anjing kecil, padahal kata “bocah” lebih lazim digunakan untuk menggambarkan seorang anak secil.
                Semula saya mengira bahwa cerpen ini hanya cerita pendek yang biasa saja, namun ternyata saya salah. Banyak sekali pesan-pesan yang dituangkan oleh penulis dengan bahasa yang sedikit medhok tapi itu sangat natural, seperti kata “bonggaard” yang kata aslinya bonkhaard, Herpung yang ternyata adalah herder kampung. Mangunwijaya berhasil membuat cerpennya begitu alami dengan sentuhan yang realistis.
                Thithut dalam cerita ini adalah seekor anjing jenis herder yang sangat bagus. Ia bagaikan ratu di desanya di kampung Bonggaran. Kehidupan awal anjing ini begitu menyenangkan. Namun ada bagian yang membuat saya penuh dengan tanda tanya. Mengapa tokoh Thithut ini tiba-tiba dibuang? Dan mengapa Thithut menjadi pincang?
                Sangat di sayangkan pada cerpen ini tidak dijelaskan apa yang terjadi dengan kehidupan Thithut yang sebelumnya begitu membahagiakan lalu dengan sekejap berubah menjadi menyedihkan atau bahkan mengenaskan.
                Hanya dijelaskan bahwa ada bocah (anjing) yang mirip sinyo manis dari Perancis atau Swedia kulit dan hidungnya. Dan tiba-tiba setiap orang yang melihat Thithut merasa kasihan. Saya bingung bukan main, kasihan kenapa kepada Thithut? Apa yang terjadi dengannya?
                Kebingungan saya semakin menambah ketika Thithut menjadi “invalid”. Apa itu invalid? Ataukah ini sebuah penghubung tentang apa yang terjadi terhadap kehidupan Thithut? Tapi saya tak ingin terburu-buru menyimpulkan hal itu.
                Mangunwijaya atau Romo Mangun dalam kehidupannya memang penuh misteri. Banyak diceritakan sekelumit cerita hidupnya seperti pada saat beliau menyuruh pembuat lem kanji untuk membuatkannya, setelah pesanan jadi Romo Mangun malah marah karena terlalu banyak lem kanji sehingga itu akan mubazir. Itu sesuai dengan prinsip beliau yaitu jangan mudah membeli sesuatu yang sebenarnya dapat dibuat sendiri.
                Mungkin memang benar, Romo Mangun adalah sosok yang “membingungkan”. Tidak mudah dipahami, bahkan potensial untuk disalahpahami. Hidup dan karya Romo Mangun memang penuh demgan simbol. Melalui karyanya ini, almarhum mengajak dan menantang kita untuk menyelami dan mengurai berbagai simbol yang penuh dengan teka-teki ini.
                Dengan menyatukan berbagi teka-teki itu, dan membaca berulang kali serta membaca karya Romo Mangun yang lain, saya menyimpulkan bahwa kebanyakan karya Mangunwijaya adalah kehidupannya sendiri yang beliau temukan, beliau lihat dan beliau alami sendiri, namun Romo Mangun menulis cerpennya sendiri dengan perumpamaan, seperti tokoh “aku” pada cerpen Natal 1945 yang ternyata adalah Thalib Yunus.
                Demikian cerpen Thithut ini, Romo Mangun mengumpamakan tokoh “herpung” atau seekor anjing herder kampung yang ternyata adalah kehidupan manusia pada umumnya yang kita lihat dan kita alami sendiri.
                Akhirnya saya memahami bahwa Thithut dibuang bukan karena keserakahannya atau sikap buruknya, melainkan bentuk fisiknya yang tampan namun kecil yang kampungan. Pemiliknya memiliki herder impor yang jauh lebih bagus dari Thithut sehingga ia dibuang dan ditelantarkan.
                Ini membuat saya sadar bahwa Thithut ini seperti orang-orang pada umumnya, ketika kita dibuang itu akan merubah perilaku dan sikap kita, begitupula Thithut yang sikapnya menjadi penakut dan minder dengan semua yang ia temui.
                Saya menyimpulkan bahwa tokoh “Thithut” adalah pengejawantahan hati nurani dari kekejaman orang-orang disekitarnya. Ketika kau takut, trauma atau minder, setiap bunyi praktis memanggil sang maut datang. Akan tetapi kalau ia menerima kasih sayang, dia akan belajar kau bukan calon maut.
                Sebuah cerpen karya Romo Mangun yang begitu luar biasa, penuh dengan kata-kata dan makna yang luar biasa ketika kita mampu mengungkapnya. Meskipun sangat membingungkan dan membutuhkan waktu untuk memahaminya, semua akan terbayar ketika kita sanggup menyingkap tabir tersebut. Lepas dari semua pesan moral yang luar biasa, saya sangat berterima kasih kepada Romo Mangun yang telah membuat saya pusing.       
               












    Setelah Membaca Kumpulan Cerpen Tak Ada Jalan Lain
              Anda bisa bayangkan sosok pemuda ireng sonokeling (hitam banget) berbeha warna pinky (merah muda menyala)? Lalu pemuda yang salah kodratnya itu nekat berkebaya kenes (anggun) melenggak-lenggok di jalanan demi seratus-dua ratus rupiah. Entah darimana Mangunwijaya, yang kerap disapa Romo (orang tua yang dihormati) punya imajinas liar ini. Ini menjadi titik berangkat pada buku kumpulan cerpen pertama dan terakhir dari Mangunwijaya. Dikenal sebagai rohaniwan, arsitek dan hamba kaum papa tak menjadikan Mangunwijaya kehilangan seleranya untuk mengasah empatinya dengan sastra. Bahkan sastra dia pakai sebagai alatnya untuk berbicara secara simbolik.

              ‘Tak Ada Jalan Lain’, demikian judul pertama cerpen dalam buku ini. Berkisah tentang pemuda yang terpaksa menjadi perempuan untuk mengamen. Kebimbangan menyelimuti pemuda naas tersebut, menjadi olok-olok tiap rakyat jelata yang berpapas dengannya. Meminjam peralatan keperempuannya pada simbok (ibu) dan lonte (pelacur) sahabatnya. Mangunwijaya memindahkan olok-olok jenaka ini dalam cerpennya. Lumrah itu terjadi, dalam beberapa hal, kita mendengar yang bernama ‘panggung kerakyatan’ selalu penuh dengan olok-olok dan sindiran. 
                Baridin namanya, seorang pemuda yang kebingungan menentukan arah hidup demi masa depannya. Romo Mangun ingin menggambarkan bahwa kebanyakan pemuda seumuran Baridin memang selalu bingung dalam menentukan arah hidup mereka. Romo Mangun benar-benar mengambil sisi sosial dalam cerpen ini. Romo tidak menutupi semua yang terjadi pada Baridin, ia menuliskan dengan begitu “fulgar” dalam cerita ini.
                Kadang ketus, sok tahu, bijak sekaligus refleksi atas keprihatinan keadaan. Masih ingatkah kita akan film Nagabonar? Kisah pencopet yang jadi pahlawan republic? Penuh dengan olok-olok pada kekuasaan yang rakus dan tamak, sekaligus penuh dengan makna simbolik khas kaum pinggiran yang tak berani mengkritik secara terbuka.
                Dalam cerpen ini entah mengapa tidak dijelaskan mengapa Baridin menjadi seorang pengamen wedok. Ataukah memang tak ada jalan lain? Kata ini selalu muncul ketika Baridin mengeluh tentang kehidupan yang begitu memilukan ini.
                Bahasa yang digunakan dalam cerpen ini tidak begitu sulit untuk dimengerti. Banyak menggunakan majas-majas untuk memperindah kalimat. Romo Mangun juga tidak menghilangkan beberapa kata daerahnya, seperti stagen, kere, wedok, gali, dan lain-lain.
                Konflik pun akhirnya muncul ketika Baridin tidak tahan dihina-hina oleh banyak orang yang ia jumpai. Alangkah senangnya andai tadi  tiba-tiba disambar colt atau ditusuk penjambret, tepat terkena jantungnya. Ujar Baridin. Hal ini menunjukan bahwa keterpaksaan Baridin untuk melakukan pekerjaan ini, dari pada menganggur dan apa lagi sampai mencari nafkah yang tidak halal, amit-amit.
                Niat yang begitu mulia dari Baridin meskipun ia harus mempertaruhkan harga dirinya dan harus rela bergaul dengan para pelacur, meskipun hasilnya tidak begitu baik. Perjuangan yang ia lakukan tidak sebanding dengan hasil yang ia dapatkan.
                Dalam hatinya memberontak, semua yang dilakukan untuk ibunya hanya sia-sia. Ia pun membentak kepada sahabat pelacurnya dan berkata “Sudah setengah hari bergoyang pantat Cuma sekian? Kau lebih kere dariku”. Kehidupan pelacur (sebut saja Ruyem) yang begitu liar ditampilkan oleh Romo Mangun secara jelas. Ruyem membuka resleting celana Noroyononya dan di genggam burung Baridin sampai menjerit. Itu dilakukan agar Baridin tersadar bahwa sebagai orang yang tidak punya, inilah kedamaian yang sesungguhnya kita rasakan ketika terbiasa dan menikmatinya. Ruyem pun memberikan uang seribu dan menyuruh Baridin pulang untuk memberikannya kepada ibunya.
                Satu hal yang membuat saya bingung adalah makna dari kata “karbol”. Ruyem berkata “O, Baridin, Baridin, Baridol! Sebetulnya kau harus dicekoki karbol”. Saat Baridin memberikan uang kepada ibunya, dia berkata “Harus saya cuci dulu dengan karbol. Nanti seisi rumah dengan segala cindil-nya terena penyakit kotor Ruyem. Apakah “karbol” itu sebuah hinaan bahwa setiap orang yang berhubungan dengan Ruyem harus dibersihkan menggunakan “karbol” adar bersih dari sifat kotornya?
                Perkataan itu membuat Baridin benci terhadap dirinya, mengapa ia tak membela si Ruyem itu. Tiba-tiba Baridin terasa sakit hatinya oleh kesadaran bahwa kedamaian bagi orang punya dan tak punya memang tidak sama akarnya. Cerita yang begitu menggugah hati bagaimana permulaan atau awal perjalanan hidup seseorang yang begitu berperan dalam mencapai sebuah kedamaian hidup.
















    Setelah Membaca Kumpulan Cerpen Cat Kaleng
    Mangunwijaya mengisahkan Cat kaleng, yang menceritakan kisah-kisah orang pinggiran yang berjuang menghadapi kerasnya hidup. Kebanyakan cerpen yang dibuat pada tahun yang sama, periode 1980-an, periode dimana Mangunwijaya terlibat pada komunitas Kali Code yang terancam digusur oleh kegilaan Pemkot Yogyakarta akan ‘tamanisasi’ perkotaan (hal yang masih berlanjut sampai sekarang). Keterlibatan yang memberikan banyak inspirasi bagi Mangunwijaya yang didedah lagi, lalu ditulis ulang melalui cerpen.
               Keterlibatan dalam setiap gerak masyarakat pinggir kali, seperti pada cerpen Cat Kaleng (bercerita tentang seorang bocah perempuan yang disangka menjual cat kaleng curian) menjadi sejarah kampung perkotaan yang ditulis ulang-dimaknai sekali lagi. Bagi Mangunwijaya, cerpen tak berhenti pada aksi klangenan (hiburan) belaka, tetapi suatu alat membaca ulang sejarah tentang manusia dan kemanusiaan. Dia pengikut Ahmad Tohari sejati.
    Siyah namanya, gadis kecil yang matanya seperti biji salak di beling porselin. Ini menunjukan penampilan bocah yang memelas dan butuh kedermawanan. Kehidupan Siyah yang begitu buruk akibat bimbingan keluarga yang kurang, malah bahkan menjerumuskan.
    Romo Mangun ingin mengingatkan kepada semua orang tua lewat cerpen ini. Bahasa yang digunakan pada cerpen ini sederhana dan benar-benar pas untuk kata-kata yang diucapkan bocah cilik.
    Tokoh aku disini diibaratkan seseorang yang dekat dan perhatian terhadap Siyah. Ketika Siyah menawarkan cat kaleng yang ia curi dari desa kami yang sedang membangun jembatan raksasa, tokoh aku berfikir penuh keraguan, mengapa Siyah gadis yang cantik ini suka mencuri? Akan jadi apa iya kelak besar nanti?
    Selang waktu kemudian, tokoh aku akhirnya membeli cat kaleng itu dan memberikannya uang seribu untuk dibagi-bagikan kepada adik-adiknya. Siyah itu tersenyum ceria dan memberikan cat itu kepada tokoh aku. Namun entah mengapa “aku” ini tidak menerima dan malah berkata kepada gadis polos itu “Bawa saja ke rumah untuk mengecat pintu rumah kalian”.
    Entah apa yang dilakukan setelah itu, tokoh aku bertanya kepada ibu Siyah tentang kabar bahwa putrinya si siyah telah ditahan Polisi. Ibunya menjawab dengan jengkel dan nada yang tidak peduli dengan anaknya. Dan ternyata Siyah meniru perilaku ayahnya yang suka mencuri barang milik orang lain, sebuah pelajaran yang buruk untuk diberikan anaknya.
    Ibu itu begitu bersyukur bahwa ayah dan putrinya ditahan Polisi, semua itu demi mereka jera dengan apa yang telah mereka lakukan. Tiga hari kemudian, tokoh “aku” melewati rumah Siyah dan melihat bahwa pintu rumah mereka telah dicat serba baru dan gemilang. Tokoh aku merasakan pukulan yang bergejolak dihatinya “Mengapa tak ku terima saja cat kaleng itu? Sehingga gadis malang itu tidak ditahan Polisi. Atau, yang ku lakukan semua ini benar? Agar mereka jera?”
    Begitu membingungkan dan benar-benar tak jelas akhir cerita ini, didalam benak saya masih tanda tanya besar. Hanya disebutkan bahwa sang pengayom (Polisi) menghisap sebatang rokok dengan cerutu miliknya. Romo Mangun menggambarkan Polisi tersebut dengan begitu nyata dan asli seperti kebanyakan Polisi lainnya. Entah apa yang terjadi pada anak dan ayah setelah itu, apakah masih dipenjara atau sudah bebas?








    Setelah Membaca Kumpulan Cerpen Sungai Batu
    Setelah saya membaca cerita Sungai Batu ini, tiba-tiba cerpen ini serasa menyorong diantara cerita pinggiran yang membungkus buku dari depan sampai belakang. Kehidupan sosial masih menjadi inspirasi dari cerita ini. Kehidupan kebanyakan orang yang berlatar pada tahun 1980-an.
    Romo Mangun menggunakan latar tempat di sungai desa mereka yang besar dengan batu-batu yang besar, sebesar kerbau atau sapi. Ini begitu sederhana dan begitu alami tetapi dibalut dengan cerita yang menarik, meskipun menurut saya kalah bagus dari cerita lainnya.
    Meskipun kurang menarik namun saya merasa ada suatu sisi yang sebenarnya mampu membuat cerita ini menarik. Saya bingung dengan perkataan Romo “Manusia yang berjongkok didalam sungai lahar sebenarnya tidak punya cakrawala. Dan ketika ada lagi jago yang berkokok, aku bertanya diri, apa betul semua manusia harus punya cakrawala, apalagi cakrawala luas. Hanya para pelaut tahu, apa yang disebut horison, dan itu tak hak namun kewajiban mereka. Tetapi kami kaum sungai di lembah dalam?” Apa maksud “cakrawala”? dan apa maksud dari horison?
    Tokoh “aku” yang tidak lain adalah Romo Mangun sedang berada disungai melakukan “upacara” (ya sebut saja buang air besar) seperti biasa. Mengapa Romo menyebutnya “upacara”? Mengapa tidak langsung saja buang air besar? Apakah terlalu fulgar? Kurasa alasan itu tidak tepat karena Romo Mangun menggunakan kata-kata yang fulgar pada cerpen Tak Ada Jalan Lain yang begitu liar. Mungkin Romo hanya ingin membuatnya terkesan berbeda.
    Munculah seorang laki-laki bersama anaknya dengan membawa linggis dan palu godam besar. Mereka berdua begitu sopan terhadap Romo, benar-benar menggambarkan suasana pedesaan jaman dahulu yang begitu damai. Masih sangat pagi dan mereka sudah berangkat bekerja mencari batu. Romo bertanya, “mengapa pagi sekali kau sudah mencari batu?” Ayah pemuda itu menjawab, “saat ini kaum pembelah batu sulit bersaing bahkan sudah mulai kalah melawan truk-truk besar dari kota yang mengambil batu tanpa pilih-pilih”.
    Romo pun tersadar bahwa jaman yang sederhana ini, sudah begitu banyak persaingan dalam mencari nafkah, tak bisa dibayangkan bagaimana persaingan dimasa depan dalam mencari segumpal nasi. Para truk-truk itu tak tahu batu yang mereka ambil, batu-batu itu kebanyakan adalah batu dengan kualitas buruk. Padahal Pak Ipon (ayah pemuda itu) mencari batu dengan pilih-pilih batu dengan kualitas bagus demi kepuasan konsumennya. Namun pengrajin-pengrajin kecil inilah yang kebanyakan terlupakan terganti oleh produksi industri yang sebenarnya jauh kalah kualitasnya.
    Pak Ipon menyuruh anaknya sebut saja Basuki untuk membelah batu sebesar anak sapi. Ayahnya memberitahu bagaimana memilih batu yang bagus dengan melihat dan meraba batu tersebut. Ketika Basuka mulai membetel perlahan batu itu, dia merasakan nyaman dan senyum sumarah dengan pekerjaan ini. Lama-kelamaan lubang itu pun semakin dalam. Dan akhirnya Basuki melayangkan palu godam begitu keras dan akhirnya batu itu terbelah. Ayahnya kaget bukan main, mengapa anaknya itu sangat berbakat dalam memecah batu? Mengapa dia meniru ayahnya ini? Ya tuhan mengapa tidak kau beri anakku kelebihan yang lain? Padalah aku ingin dia menjadi kepala sekolah, ujar Pak Ipon.
    Begitu sempurna permukaan belahan yang sangat geometris, bagaikan Lautan Merah yang terbelah oleh tongkat Nabi Musa. Romo Mangun sangat jelas menggunakan majas hiperbola dalam cerita ini. Benar-benar begitu sempurnakah belahannya? Ayahnya pun sangat bangga meskipun dia hanya seorang pembelah batu.
    Akhirnya saya simpulkan bahwa apa pun pekerjaannya ketika kita merasa senang, nyaman, ikhlas dalam mengerjakannya pasti akan menghasilkan sesuatu yang bagus dan membanggakan. Dan tak usah menyesali dengan bakat yang kita miliki, meskipun hanya seorang pembelah batu, itu akan bermanfaat bukan hanya untuk diri kita sendiri, melainkan untuk banyak orang. Karena hal sekecil apa pun yang Allah swt berikan pasti memiliki banyak rahasia agung dibalik semua itu.
              Kumpulan cerpen ini ditemukan pada rumah peristirahatan Mangunwijaya yang indah, Rumah Kuwera biasa menyebutnya. Berserak di gudang dan tumpukan kertas yang melapuk. Sepertinya, tak ada perlakuan khusus pada tiap tulisan yang diproduksinya. Seolah tak peduli siapa yang akan membacanya kelak. Rumit membaca setiap kata yang tertulis oleh Mangunwijaya, bahkan para penyunting pun bersusah payah mengedit sana-sini kalimat yang panjang dan bertele-tele. Refleksinya atas pengalaman personal keseharian seperti terpatah, lalu melompat berlanjut pada tema cerpen yang lain.
      Beberapa konteks cerpennya pun menjadi tak dimengerti, seperti Rheinstein dan Pilot, yang bercerita tentang keluarga priyayi (bangsawan) dan kelas menengah yang menghadapi problematika khas mereka, kesepian diantara melimpahnya materi dan pengetahuan. Tiba-tiba cerpen ini serasa menyorong diantara cerita pinggiran yang membungkus buku dari depan sampai belakang. Mungkin saja, para penyunting dan penerbit ingin memberikan suguhan yang beragam pada buku. Kepentingan buku ini sebagai kumpulan cerpen, yang merupakan representasi dari sosok Mangunwijaya menjadi faktor penting ketika memasukkan tema cerpen tersebut.
    Gaya bahasa yang tak acuh pada ketatabahasaan yang digariskan dan kegemaran membuat istilah yang aneh-aneh jelas akan membuat siapa pun mengeluh. Bayangkan saja, suatu saat novel-novel Mangunwijaya diterjemahkan ke foreign language, bakal ada kerepotan sana-sini. Pergaulan Mangunwijaya yang akrab dengan kaum pinggiran dan terkalahkan menjadikan setiap titik-koma dalam cerpennya mempunyai bahasanya sendiri, dan keunikan yang khas yang menjadikan sosok Romo Mangun menjadi seorang penulis cerpen yang dikenang sepanjang masa.
    0

    Tambahkan komentar

Memuat